Jumat, 10 Februari 2012

Jurnalisme 'Katanya...'

Perdebatan itu...
Di awal minggu ini, saya berkesempatan menonton acara para advokat di sebuah stasiun TV nasional. Sudah lama juga saya tidak nonton acara ini, saya pikir malam itu akan ada sebuah tontonan menarik yang bisa saya ambil hikmah atau memberikan inspirasi bagi saya...

Topik yang dibahas adalah tentang keterkaitan beberapa pengurus partai demokrat pada kasus suap wisma atlit yang saat ini sedang ramai dibicarakan, karena menyangkut mantan bendahara partai tersebut, Nazarudin. Maka ramailah perbincangan, debat, dan dialog (ehmmm....mungkin bukan dialog karena pembicaraan memang tidak mencari titik temu...). Di satu sisi, adalah jajaran teras partai demokrat, di sisi lain adalah tim pengacara Nazarudin, ada beberapa anggota DPR komisi III (bagian hukum) - yg saya amati perannya sebagai 'kompor' dalam diskusi, serta beberapa tokoh nasional yang terpandang.

Jajaran pengurus partai demokrat tentu saja berusaha menunjukkan tidak terlibatnya pengurus mereka dalam kasus tersebut. Mereka juga menjelaskan komitmen partai jika ada kader yang terlibat akan langsung mendapatkan sanksi, rujukan mereka Nazarudin dan Angelina Sondakh (yang ditetapkan sebagai tersangka) langsung mendapatkan sanksi organisasi.

Sementara tim pembela Nazarudin membantah itu semua dan mencoba meyakinkan audience bahwa yang terlibat dalam kasus ini jaaauuh... lebih dalam di partai tersebut, dengan bekal informasi, 'Kata Nazarudin.......' atau 'Pak Nazarudin berpesan.....', atau 'Menurut Pak Nazarudin.....' yang mereka anggap sebagai fakta atau bukti otentik sebuah kasus. Menarik! Mungkin pembaca blog bisa lebih tahu apakah informasi terdakwa bisa dijadikan the only evidence untuk menjadikan seseorang tersangka, apalagi terdakwa yang satu ini cukup kontroversial (berobat ke luar negeri, lari ke kolombia, ngomong lewat Skype, dsb...)

Yang menarik beberapa informasi 'katanya....' itu tidak sama dengan informasi dari beberapa jajaran partai demokrat yang merasa melalui tahapan peristiwa yang diceritakan oleh tim pembela Nazarudin. Siapa yang benar? You should be the judge....

Tentu saja perdebatan tidak berhenti di situ, dan mulai merembet ke masalah lain, pecahnya KPK, Anas Urbaningrum yang harus dilengserkan, dan lain-lain....namun bukan itu inti post ini. Saya justru ingin mengangkat pembentukan opini dengan manufactured information (informasi yg telah direkayasa) melalui statement katanya....

Tomorrow Never Dies...
Di malam harinya, di stasiun TV lainnya, ada film James Bond - Tomorrow Never Dies.... Pierce Brosnan dan Michelle Yeoh. Berbeda dengan stereo-typing film Bond yang lain, film ini bercerita tentang pengusaha global media Garver Global Satellite yang menguasai jaringa media di seluruh dunia (seperti News of The World-nya Rupert Murdoch....), hingga perusahaan ini bisa membentuk opini masyarakat dunia sesuai dengan apa yang diinginkannya. Diceritakan jaringan media perusahaan ini bisa membuat opini apapun yang dikehendaki, dan karena memang digambarkan sebagai seorang yang jahat dan licik, seringkali pemberitaan terhadap suatu issue yang bisa menguntungkan perusahaannya akan diblow up sedemikian hingga terjadi hiruk-pikuk di masyarakat.

Pikiran saya pun membandingkan apa yang diceritakan oleh film itu dengan relaita media massa di Indonesia saat ini. Begitu banyak informasi dipelintir menjadi sebuah suguhan berita yang bombastis terkadang tanpa esensi dan hanya berdasarkan wacana, rumours, dan sumber informasi yang tidak jelas. Seorang pewawancara dengan bebas bisa berspekulasi tentang sebuah informasi dengan cara menggunakan kalimat, "saya dengar perusahaan yang anda pimpin itu......" atau "sebagian orang orang beranggapan bahwa......", atau 'kata salah satu nara sumber......." dan sebagainya. Ini yang saya namakan jurnalisme 'katanya...' sebuah jenis jurnalisme yang tidak mendasarkan berita berdasarkan fakta tetapi berdasarkan pendapat nara sumber yang tidak jelas, atau ada fakta - namun disusun ulang dengan bias tertentu sesuai kepentingan pemilik media bersangkutan. Jenis jurnalisme seperti ini sekarang marak di negeri ini.

Yang menarik lagi dari jenis jurnalisme seperti ini, karena kekuatan dan kemampuan daya jangkau-nya, fakta atau pendapat sebuah badan negara yang terhormat (KPK misalnya...) bisa diposisikan seolah-olah salah dibandingkan dengan pendapat atau argumentasi segerombolan pembela dari seorang terdakwa korupsi. Jurnalisme tipe ini bisa memborbardir masyarakat dengan berita-berita berjenis 'katanya...' 24 jam sehari terhadap berita berdasarkan fakta yang mungkin muncul dari pusat berita yang jauuuuh lebih kecil. Setiap fakta yang berlawanan terhadap keinginan mereka akan tergilas oleh dahsyat-nya mesin propaganda media ini.
Saya ingin mengambil contoh menarik dari kasus korupsi wisma atlet. Saya akan ambil beberapa nukilan berita yang menarik, silakan ikuti link yang ada di bawah ini:

Rosa diancam

Tentang Ketua Besar dan Boss Besar (Kesaksian Rosa: 16 Jan 2012)

Tentang Ketua Besar dan Boss Besar (Komentar Nazarudin: 16 Jan 2012)

Kesaksian Rosa yang berubah (10 Feb 2012):


Informasi dari Rosa yang berubah setelah mendapatkan ancaman? setelah kesaksian-nya sesuai dengan apa yang dinyatakan Nazarudin, maka media massa pun menyiarkan secara terus menerus informasi yang baru ini. Sehingga informasi awal sudah terlupakan. Bayangkan jika saat ini Rosa mengatakan bahwa yang dimaksud ketua besar itu bukan Annas? Pasti kesan kita Rosa sedang diintimidasi untuk melindungi Anas. Permainan yang cerdas...

Topik lain, ketika kita begitu terkesima dengan sepak terjang Menteri BUMN yang memberikan angin segar bagi perubahan budaya korporasi di BUMN, mulai dihembuskan informasi yang sumir, seperti cukilan berita tentang Merpati Airlines, yang awalnya sempat diusulkan untuk ditutup saja. Coba simak informasi ini:

Atau informasi 'katanya...' Nazarudin tentang komisi proyek PLN:



Untungnya Menteri BUMN juga bekas wartawan dan memiliki jaringan media yang sangat kuat sehingga berita berdasarkan 'katanya...' itu bisa segera dipatahkan dan tidak berlarut-larut. Bayangkan jika gossip seperti ini tidak segera ditangkal, bisa-bisa Menteri BUMN akan sangat terganggu fokusnya dan harapan kita untuk melihat kiprah beliau memperbaiki BUMN sebagai perusahaan kelas dunia bisa pupus.

Saya rasa kita semua lelah dengan jurnalisme seperti ini. Sebuah jurnalisme yang tidak profesional yang menghadirkan informasi berdasarkan pada sumber yang kurang kredibel dan disebarluaskan tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu pada orang atau badan yang menjadi obyek dari berita itu.

Cerdaskan Hati, Bijakkan Mata & Telinga...
Melalui post ini, saya ingin mengingatkan para jurnalis agar mengungkapkan berita yang berdasarkan fakta yang benar dan nyata. Jadikan media kita sebagai media untuk memberikan inspirasi bagi bangsa, kritik atau masukan diberikan dengan santun dan bermartabat dengan tujuan bersama untuk memperbaiki bangsa dan negara ini. Kembangkan responsible journalism (jurnalisme yang bertanggung jawab) yang mendasarkan informasi nyhata hasil investigasi yang profesional. Mari kita tinggalkan model jurnalisme 'katanya..', jurnalisme yang hanya memnetingkan kepentingan sesaat dari segelintir golongan dan mengorbankan hak rakyat banyak untuk mengetahui informasi yang akurat, benar, dan tidak memihak.

Buat penikmat berita, pemirsa TV, pembaca koran, dan pendengar radio, mari kita bersama cermati tingkah polah media massa kita. Bekali pikiran dengan informasi dari berbagai sumber sehingga kita mendapatkan informasi secara utuh dan tidak memihak. Cerdaskan hati kita agar pikiran kita bisa mencerna infromasi dengan baik. Bijakkan mata dan telinga kita agar kita dapat memilih dan memilah informasi yang akan kita santap untuk makanan bathin kita.

Mari kita tinggalkan jurnalisme 'katanya...'

Sabtu, 04 Februari 2012

Oligarki Opini...

Akhirnya Menulis Juga..
Akhirnya saya mulai juga menulis di blog ini setelah sekian minggu keinginan itu saya tunda terus menerus dengan berbagai alasan (klasik dan mengada-ada) 'gak ada waktu'... 

Begitu banyak kejadian yang kita hadapi pada 3 minggu terakhir ini di tanah air dan mungkin karena itu juga pikiran saya jadi bingung mana yang ingin saya tuangkan dalam blog ini (alasan lagi...). Mulai dari centang perenang badan anggaran di DPR yang tanpa rasa bersalah menganggarkan Rp 20 Milliar untuk renovasi ruang rapat mereka, kejadian 'Xenia maut' yang menewaskan 9 orang  karena si pengendara dan penumpang-nya habis mabuk dan menggunakan narkoba, kasus kerusuhan di Kabupaten Bima mulai demonstrasi sampai peristiwa pembakaran kantor kabupaten-nya, sampai hiruk pikuk kasus wisma atlet yang menyeret beberapa tokoh partai demokrat yang berkuasa saat ini.

Hampir setiap hari (pagi siang sore - seperti minum obat) kita disuguhi akrobat informasi yang luar biasa itu, dan perlahan-lahan alam bawah sadar kita terpengaruh dan mulai mencerna setiap tetes informasi itu dan menganggap-nya sebagai sebuah persepsi yang akhirnya kita anggap sebagai sebuah fakta dan kenyataan. Kebebasan pers di Indonesia sungguh luar biasa!!! dan kita sebagai bangsa patut berbangga akan hal itu, karena kebebasan pers saat ini adalah buah manis dari perjuangan insan pers berpuluh tahun di masa orde baru di mana saat itu, kebebasan pers adalah sebuah impian semata. Tidak bisa dipungkiri, kebebasan pers adalah 1dari 3 hasil reformasi yang saat ini benar-benar kita nikmati, yang lain - pemilu yang demoktratis dan otonomi daerah. Sama halnya dengan otonomi daerah dan pemilu, secara tatanan dan teori bangsa kita sudah melaksanakan-nya namun baik kebebasan pers, pemilu, dan otonomi daerah belumlah mencapai sasaran akhir - nya yaitu keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia - the main stakeholder dari proses reformasi itu sendiri.


Oligarki Opini...
Kebebasan pers di masa reformasi ini, menghasilkan begitu banyak media baik cetak maupun elektronik yang dengan bebas (atau hampir bisa dikatakan begitu) menghadirkan informasi di setiap detak nadi kehidupan rakyat Indonesia, tanpa pandang bulu - media tidak mau tahu usia audience-nya entah anak-anak, remaja, orang dengan latar belakang pendidikan yang terbatas, mereka yang belum sejahtera, dan sebagainya. Bagi media, saat ini mereka punya privilege untuk menghadirkan informasi apapun dan menyajikannya pada masyarakat terlepas apa itu akibatnya. Karena memang dalam konsep liberisme media ada pepatah - we provide the information, you will decide atau we give the information and you should be the judge.

Hal yang perlu kita sama-sama waspadai saat ini, seperti di negara-negara lain, media adalah alat paling ampuh untuk pembentukan opini publik di sebuah negara demmokrasi (jauh lebih ampuh dari instrumen / badan yang manapun dari sebuah negara). Sebuah informasi bisa dikesankan menjadi sebuah fakta melalui pembentukan opini yang dilakukan dnengan pemberitaan atau penanyangan informasi tersebut berulang-kali, facts can be manufatured through continuous information overflow. Sehingga sebuah informasi yang sebetulnya tidak jelas betul faktanya bisa menjadi seolah-olah sebuah kenyataan yang faktual dan harus diterima sebagai sebuah kebenaran.

Masih segar ingatan kita tentang PM Italia Silvio Berlusconi, yang akhrinya lengser setelah beberapa kali menjabat menjadi PM dan berulangkali mendapati kasus dan skandal. Berlusconi memiliki sebuah jarinigan media massa terutama TV yang sangat kuat di Italia, dan semua kasus tentang dirinya dapat dengan mudah dibantah, tentu bukan oleh dirinya, melainkan oleh jaringan media yang dia miliki sehingga ketika ada pemilihan ulang, rakyat tetap mempercayai dirinya.

Atau kalau kita bandingkan jaringan TV di Amerika Serikat, FOX News yang pro Partai Republik dan CNN, CBS, dan NBC yang pro Obama / Partai Demokrat. Jika kita dengarkan FOX News, kita mendapatkan kesan seolah-olah tidak ada satupun program Presiden Obama yang benar - semuanya salah dan gagal, sementara kalau kita dengarkan sebaliknya (CNN, CBS, dan NBC) maka kita terkesan bahwa Presiden Obama sedang bersusah payah untuk mengembalikan kondisi ekonomi Amerika dari keterpurukan akibat pemerintaha Presiden George W Bush yang buruk.Sementara pada senator dan house representative dari Partai republik selalu menghalangi setiap langkah Presiden Obama. Lalu siapa yang benar? Bagaiman sebetulnya kenyataannya? You should be the judge.... he..he..he..

Kembali ke tanah air. Pengamatan saya, saat ini opini publik banyak dibentuk oleh televisi karena dahsyat-nya penetrasi TV di Indonesia saat ini - sampai ke polosok desa dan hutan-hutan di tanah air. Sebuah informasi bisa dibagi-bagi menjadi kubus-kubus kecil berisi sub bagian informasi untuk kemudian dirangkai kembali menjadi sebuah informasi utuh tetapi mungkin mempunyai warna yang berbeda, atau bentuk yang sama sekali berbeda dari warna dan bentuk awalnya ketika kubus-kubus informasi itu disusun kembali. Lalu warna dan bentuknya mejadi seperti apa? Tergantung dari kekuatan yang berada di belakang media itu sendiri.

Ketika sebuah media mempunyai kekuatan sedemikian rupa, namun kekuatan itu digunakan untuk kepentingan-kepentingan sesaat dan bukannya untuk kemasalahatan rakyat Indonesia, maka bangsa ini memasuki apa yang saya namakan Oligarki Opini. Oligarki arti harfiah-nya adalah suatu sistem dimana kekuatan dipegang oleh beberapa gelintir orang saja, jadi Oligarki Opini adalah sebuah kondisi di mana opini publik akan dibentuk oleh segelintir orang (dalam hal ini mereka yang memiliki kekuatan terhadap media-media tersebut) dan dibuat sesuai dengan kepentingan segelintir orang itu. Akibatnya rakyat akan dicekoki dengan suguhan akrobat informasi yang sebetulnya belum tentu benar secara fakta tetapi diberitakan secara terus menerus sehingga sebagian masyarakat menganggap itu sebagai kenyataan.

Ketika ada sebuah masalah yang bisa menguntungkan kekuatan di balik media dan merugikan musuh mereka, maka masalah itu akan diblow up dan diberitakan terkadang tanpa sumber informasi yang akurat. Pembawa acara dapat saja bertanya dengan sumber rumours dan gosip seperti, "dari informasi yang saya dengar, ada masalah ..... di organisasi bapak....", atau "apa tanggapan bapak atas pernyataan yang mengatakan.........." dan seterusnya sebuah rujukan informasi tanpa referensi yang jelas.

Tetapi ketika ada sebuah masalah yang secara telanjang memberikan dampak buruk bagi kekuatan di balik media itu, maka masalah tersebut akan hilang dari setiap pemberitaan. Ketika ada ramai-ramau tentang masalah tersebut, maka media bersangkutan memilih meliput peritiwa lain yang sangat tidak signifikan dibandingkan masalah tersebut, sambil mencari informarsi berita yang merugikan lawan si pemilik..

Akhirnya khalayak ramai akan mengambil kesimpulan berdasarkan berita yang berasal dari media pembentuk opini. Mereka yang mempunyai pendapat berbeda dianggap salah, tanpa dicoba untuk mencocokkan fakta-nya. Yang berbeda pendapat jadi tersingkir oleh masyarakat karena sistem oligarki opini ini.


Lalu?
Saat ini Indonesia membutuhkan sumber yang independen dan tidak memihak. Media yang mampu menghadirkan informasi secara proporsional dan tidak bias. Media yang membangkitkan kebanggan kita sebagai bangsa dengan begitu banyak pencapaian, tetapi pada saat yang sama tetap bisa memberikan kritik membangun yang apik dan santun. Media yang mencerdaskan bangsa dan mampu mendidik generasi penerus dengan baik disamping memberikan hiburan sebagaimana layaknya media yang lain.

Sudah saatnya kita benahi media massa milik negeri kita sendiri, TVRI, RRI, Kantor Berita ANTARA, dsb.. Mereka harus segera bertransformasi menjadi BBC atau VOA yang mampu menjadi pusat informasi independen dan kredibel bagi semua khalayak. Teknologi dan format penyampain berita danprogram TVRI, RRI dan ANTARA harus diperbaharui agar bisa bersaing dengan media-media lainnya.